Hati dan Logika
selalu bersama, tapi tak pernah beriringan. Mereka memilih jalannya yang
berbeda. Ya, sebenarnya walau mereka berjalan bersama, terkadang mereka acuh
tak acuh. Tak mau bergandeng tangan, bahkan enggan menatap yang di sebelahnya.
Seperti bermusuhan. Tapi keadaan menjadikan mereka satu.
Kadang Batin
mempertemukan mereka, hanya untuk mengajak bicara. Tapi akhirnya mereka
berselisih.
Batin hanya bisa menggelengkan kepala dan memenangkan satu di antara mereka.
Batin hanya bisa menggelengkan kepala dan memenangkan satu di antara mereka.
Satu. Ya, cuma satu.
Dan biasanya Hati yang berkuasa.
Dan biasanya Hati yang berkuasa.
Hati, ia lebih
perasa. Tapi ia rapuh.
Logika, ia memang kuat tak terkira, tapi ia tega.
Logika, ia memang kuat tak terkira, tapi ia tega.
Ah, mungkin selamanya
Hati dan Logika tak mampu berjalan beriringan, walau tetap harus bersama.
Suatu hari, Hati dan Logika bertemu di persimpangan.
Hati enggan menyapa, bahkan memalingkan muka.
Sungguh ia tak ingin bertemu Logika yang kejam itu. Dalam pikirnya, Logika cuma satu: kejam
Suatu hari, Hati dan Logika bertemu di persimpangan.
Hati enggan menyapa, bahkan memalingkan muka.
Sungguh ia tak ingin bertemu Logika yang kejam itu. Dalam pikirnya, Logika cuma satu: kejam
Logika menyapa,
mengangkat kepalanya tinggi-tinggi seolah lupa, pertempuran kemarin,
perselisihan terbesar mungkin, dimenangkan juga oleh Hati. Hati yang pulang
dengan kemenangan walaupun memar sana-sini.
Memarnya tak hilang
juga.
"Hai, Hati, apa kabarmu hari ini?", katanya jumawa.
"Baik", Hati menjawab singkat.
"Mengapa wajahmu masih biru? Masih sakitkah seperti dihujam sembilu?", ada nada mengejek dalam setiap katanya.
Hati hanya tersenyum dan, Logika pun jelas melihat, ada bahagia tersirat.
"Ya. Masih memar. Tapi aku bahagia.", ujarnya singkat.
"Ah, dasar bodoh. Bahagia katamu? Macam bahagia karena luka-luka? Sudah gila rupanya. Apa kamu tak punya logika? Oh iya, Logika itu kan aku."
dan Logika pun tertawa. Keras dan masih jumawa.
"Bilang saja aku gila. Tapi aku bahagia. Cukup untuk mengatasi setiap luka."
dan Hati hendak berbalik pergi.
Tapi Logika menahannya.
"Tunggu! Tunggu. Aku masih ingin tahu. Mengapa kau tak mengalah saja? Ketahuilah. Jika kau saat itu mengalah, lukamu tak akan parah.", Logika akhirnya tak bisa menyembunyikan keheranannya.
"Ya. Memang."
"Lalu?"
"Hai, Hati, apa kabarmu hari ini?", katanya jumawa.
"Baik", Hati menjawab singkat.
"Mengapa wajahmu masih biru? Masih sakitkah seperti dihujam sembilu?", ada nada mengejek dalam setiap katanya.
Hati hanya tersenyum dan, Logika pun jelas melihat, ada bahagia tersirat.
"Ya. Masih memar. Tapi aku bahagia.", ujarnya singkat.
"Ah, dasar bodoh. Bahagia katamu? Macam bahagia karena luka-luka? Sudah gila rupanya. Apa kamu tak punya logika? Oh iya, Logika itu kan aku."
dan Logika pun tertawa. Keras dan masih jumawa.
"Bilang saja aku gila. Tapi aku bahagia. Cukup untuk mengatasi setiap luka."
dan Hati hendak berbalik pergi.
Tapi Logika menahannya.
"Tunggu! Tunggu. Aku masih ingin tahu. Mengapa kau tak mengalah saja? Ketahuilah. Jika kau saat itu mengalah, lukamu tak akan parah.", Logika akhirnya tak bisa menyembunyikan keheranannya.
"Ya. Memang."
"Lalu?"
"Masih tak inginkah kau beri tempat juaramu padaku?"
"Tidak"
"Bilang saat kau mau."
"Tidak akan. Aku harap tidak akan."
"Baiklah", Logika menghela nafas, "Kau mau ke mana?"
Hati tersenyum, jauh lebih ramah dan tulus.
"Ke sana, ke tempat yang jauh di masa nanti. Ke depan. Pokoknya bergerak maju tanpa henti.", ujarnya dengan semangat yang mendadak hadir.
"Aku antar.", kata Logika.
"Tidak," Hati menggeleng. "Kita tetap bersama, namun selamanya kita tak beriringan. Lagipula untuk menuju ke sana ku sudah punya kawan."
"Siapa?"
"Waktu."
"Oh."
"Logika, kelak kita bertemu lagi dalam pertempuran baru. Bersama Batin yang hanya sanggup menggeleng dan mengangguk, dan memilih satu. Lain waktu. Lain kali. Dan kita tak persoalkan lagi perselisihan kemarin ini."
"Baiklah."
"Dan satu lagi," Hati menghentikan langkahnya, "Saat kita bertemu, memar ini pasti tak lagi ada."
"Kita lihat saja," Logika tergelak.
"Ah, kau kan sudah kuberi tahu aku berjalan bersama siapa."
"Siapa?"
"Waktu..."
Logika tersenyum.
Hati juga tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa, Logika."
"Sampai jumpa, Hati."
Dan di persimpangan itu mereka bertemu, dan di persimpangan itu mereka berpisah.
"Siapa?"
"Waktu..."
Logika tersenyum.
Hati juga tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa, Logika."
"Sampai jumpa, Hati."
Dan di persimpangan itu mereka bertemu, dan di persimpangan itu mereka berpisah.